BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Eliminasi fekal adalah proses
pembuangan sisa metabolisme tubuh berupa bowel (feses). Pengeluaran feses yang
sering, dalam jumlah besar dan karakteristiknya normal biasanya berbanding
lurus dengan rendahnya insiden kanker kolorektal (Robinson & Weigley,
1989). Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga
disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi
dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga
bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam
kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu
menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi. Eliminasi yang teratur dari
sisa-sisa produksi usus penting untuk fungsi tubuh yang normal. Perubahan pada
eliminasi dapat menyebabkan masalah pada gastrointestinal dan bagian tubuh yang
lain. Karena fungsi usus tergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pola
eliminasi dan kebiasaan masing-masing orang berbeda.
Klien sering meminta pertolongan
dari perawat untuk memelihara kebiasaan eliminasi yang normal. Keadaan sakit
dapat menghindari mereka sesuai dengan program yang teratur. Mereka menjadi
tidak mempunyai kemampuan fisik untuk menggunakan fasilitas toilet yang normal,
lingkungan rumah bisa menghadirkan hambatan untuk klien dengan perubahan
mobilitas, perubahan kebutuhan peralatan kamar mandi. Untuk menangani masalah
eliminasi klien, perawata harus mengerti proses eliminasi yang normal dan
faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi Eliminasi produk sisa pencernaan yang
teratur merupakan aspek penting untuk fungsi normal tubuh. Perubahan eliminasi
dapat menyebabkan masalah pada sistem gastrointestinal dan system tubuh
lainnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa itu Pencernaan normal dan
eliminasi?
2.
Apa saja faktor yang mempengaruhi
eliminasi?
3.
Apa saja masalah defekasi yang umum?
4.
Apa itu diversi usus?
5.
Bagaimana proses keperawatan eliminasi
fekal?
C. TUJUAN
1.
Mengetahui pencernaan normal dan
eliminasi.
2.
Mengetahui faktor yang mempengaruhi
eliminasi.
3.
Mengetahui masalah defekasi yang
umum.
4.
Mengetahui diversi usus.
5.
Mengetahui proses keperawatan dan
eliminasi fekal.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ELIMINASI FEKAL
Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme
tubuh baik berupa urin atau bowel (feses).
Defekasi adalah pengeluaran feses dari
anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel movement.Frekwensi defekasi pada
setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali
perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang
peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris
dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk
defekasi.
Gangguan eliminasi fekal adalah
keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko tinggi mengalami statis
pada usus besar, mengakibatkan jarang buang air besar, keras, feses
kering. Untuk mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya
dilakukan huknah, baik huknah tinggi maupun huknah rendah. Memasukkan cairan
hangat melalui anus sampai ke kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti.
B. PENCERNAAN
NORMAL DAN ELIMINASI
Saluran gastrointestiral ( GI ) merupakan serangkaian
organ muscular berongga yang dilapisi oleh membrane mukosa ( selaput lendir
). Tujuan kerja organ ini ialah mengabsorpsi cairan dan nutrisi,
menyiapkan makanan untuk diabsorpsi dan digunakan oleh sel – sel tubuh, serta
menyediakan tempat penyimpanan fese sementara. Fungsi utama system GI
adalah membuat keseimbangan cairan. GI juga menerima banyak sekresi dari organ
– organ, seperti kandung empedu dan pancreas. Setiap kondisi yang secara serius
mengganggu absorpsi atau sekresi normal cairan GI, dapat menyebabkan
ketidakseimbangan cairan.
Organ-organ saluran gastrointestinal :
Anatomi fisiologi saluran pencernaan terdiri dari :
1.
Mulut
Saluran GI secara mekanis dan kimiawi memecah nutrisi
ke ukuran dan bentuk yang sesuai. Semua organ pencernaan bekerja sama untuk
memastikan bahwa masa atau bolus makanan mencapai daerah absorpsi nutrisi
dengan aman dan efektif. Gigi mengunyah makanan, memecahkan menjadi berukuran
yang dapat di telan. Sekresi saliva mengandung enzim, seperti ptyalin, yang
mengawali pencernaan unsure – unsure makanan tertentu. Saliva mencairkan dan
melunakkan bolus makanan di dalam mulut sehingga lebih mudah ditelan.
2.
Esophagus
Begitu makanan memasuki bagian atas esophagus, makanan
berjalan melalui otot sirkular, yang mencegah udara memasuki esophagus dan
makanan mengalami refluks (bergerak ke belakang) kembali ke tenggorokan. Bolus
makanan menelusuri esophagus yang panjangnya kira – kira 25 cm. makanan
didorong oleh gerakan peristaltic lambat yang dihasilkan oleh kontraksi
involunter dan relaksasi otot halus secara bergantian. Pada saat bagian
esophagus berkontraksi di atas bolus makanan, otot sirkular di bawah (atau di
depan) bolus berelaksasi. Kontraksi – kontraksi otot halus yang saling
bergantian ini mendorong makanan menuju gelombang berikutnya.
Dalam 15 detik, bolus makanan bergerak menuruni esophagus dan mencapai sfingter esophagus bagian bawah. Sfingter esophagus bagian bawah terletak di antara esophagus dan lambung. Factor – factor yang mempengaruhi tekanan sfingter esophagus bagian bawah meliputi antacid, yang meminimalkan refluks, dan nikotin serta makanan berlemak, yang meningkatkan refluks.
Dalam 15 detik, bolus makanan bergerak menuruni esophagus dan mencapai sfingter esophagus bagian bawah. Sfingter esophagus bagian bawah terletak di antara esophagus dan lambung. Factor – factor yang mempengaruhi tekanan sfingter esophagus bagian bawah meliputi antacid, yang meminimalkan refluks, dan nikotin serta makanan berlemak, yang meningkatkan refluks.
3.
Lambung
Di dalam lambung, makanan disimpan untuk sementara dan
secara mekanis dan kimiawi dipecahkan untuk dicerna dan diabsorpsi. Lambung
menyekresi asam hidroklorida (HCL), lendir, enzim pepsin, dan factor intrinsic.
Konsentrasi HCL mempengaruhi keasaman lambung dan keseimbangan asam – basa
tubuh. HCL membantu mencampur dan memecahkan makanan di lambung. Lendir
melindungi mukosa lambung dari keasaman dan aktivitasenzim. Pepsin mencerna protein,
walaupun tidak banyak pencernaan yang berlangsung di lambung. Factor intrinsik
adalah komponen penting yang dibutuhkan untuk absopsi viatamin B12 di dalam
usus dan selanjutnya untuk pembentukan sel darah merah normal. Kekurangan
factor intrinsic ini mengakibatkan anemia dan pernisiosa.
Sebelum makan meninggalkan lambung, makanan diubah menjadi materi semicair yang disebut kimus. Kimus lebih mudah dicerna dan diabsorpsi daripada makanan padat. Klien yang sebagian lambungnya diangkat atau yang memiliki pengosongan lambung yang cepat ( seperti pada gastritis ) dapat mengalami masalah pencernaan yang serius karena makanan tidak dipecah menjadi kimus.
Sebelum makan meninggalkan lambung, makanan diubah menjadi materi semicair yang disebut kimus. Kimus lebih mudah dicerna dan diabsorpsi daripada makanan padat. Klien yang sebagian lambungnya diangkat atau yang memiliki pengosongan lambung yang cepat ( seperti pada gastritis ) dapat mengalami masalah pencernaan yang serius karena makanan tidak dipecah menjadi kimus.
4.
Usus Halus
Selama proses pencernaan normal. Kimus meninggalkan
lambung dan memasuki usus. Usus halus merupakan sebuah saluran dengan diameter
sekitar 2.5 cm dan panjang 6 m. Usus halus dibagi mkenjadi 3 bagian : duodenum,
jejunum, dan ileum. Kimus bercampur dengan enzim – enzim pencernaan (missal :
empedu dan amylase) saat berjalan memalui usus halus. Segmentasi (kontrasi dan
relaksasi otot halus secara bergantian) mengaduk kimus, memecahkan makanan
lebih lanjut untuk dicerna. Pada saat kimus bercampur, gerakan peristaltic
berikutnya sementara berhenti sehingga memungkinkan absorpsi. Kimus berjalan
perlahan melalui usus halus untuk memungkinkan absorpsi.
Kebanyakan nutrisi dan elektrolit diabsorbsi di dalam
usus halus. Enzim dari pancreas ( missal : amylase ) dan empedu dari kandungan
empedu dilepaskan ke dalam duodenum. Enzim di dalam usus halus memecahkan lemak,
protein, dan karbohidrat menjadi unsure – unsur dasar. Nutrisi hampir
seluruhnya diabsorbsioleh duodenum dan jejunum. Ileum mengabsorpsi vitamin –
vitamin tertentu, zat besi, dan garam empedu. Apabila fungsi ileum terganggu,
proses pencernaan akan mengalami perubahan besar. Inflamasi, reseksi bedah,
atau obstruksi dapat mengganggu peristaltic, mengurangi area absorpsi, atau
menghambat aliran kimus.
5.
Usus Besar
Saluran GL bagian bawah disebut usus besar ( kolon )
karena ukuran diameternya lebih besar daripada usus halus. Namun, panjangnya,
yakni 1,5 sampai 1,8 m jauh lebih pendek. Usus besar dibagi menjadi sekum,
kolon, dan rectum. Usus besar merupakan utama dalam eliminasi fekal.
a.
Sekum
Kimus yang
tidak diabsorpsi memasuki sekum melalui katup ileosekal. Katup ini merupakan
lapisan otot sirkulat yang mencegah regurgitasi dan kembalinya isi kolon ke
usus halus.
b.
Kolon
Walaupun
kimus yang berair memasuki kolon, volume air menurum saat kimus bergerak di
sepanjang kolon. Kolon dibagi menjadi kolon asendens, kolon transversal, kolon
desenden, kolon sigmoid. Kolon dibangun oleh jaringan otot, yang
memungkinkannya menampung dan mengeliminasi produk buangan dalam jumlah besar.
Kolon memiliki empat fungsi yang saling berkaitan : absorpsi, proteksi, sekresi, dan eliminasi.
Kolon memiliki empat fungsi yang saling berkaitan : absorpsi, proteksi, sekresi, dan eliminasi.
c.
Rectum
Produk buangan yang mencapai bagian kolon sigmoid, disebut feses. Sigmoid menyimpan feses sampai beberapa saat sebelum defekasi. Rectum merupakan bagian akhir pada saluran GL. Panjang rectum bervariasi menurut usia :
Produk buangan yang mencapai bagian kolon sigmoid, disebut feses. Sigmoid menyimpan feses sampai beberapa saat sebelum defekasi. Rectum merupakan bagian akhir pada saluran GL. Panjang rectum bervariasi menurut usia :
1)
Bayi 2,5 sampai 3,8 cm
2)
Toddler 5 cm
3)
Prasekolah 7,5 cm
4)
Anak usia sekolah 10 cm
5)
Dewasa 15 sampai 20 cm
Dalam kondisi normal, rectum tidak
berisi feses sampai defekasi. Rectum dibangun oleh lipatan – lipatan jaringan
vertical dan transversal. Setiap lipatan vertical berisi sebuah arteri dan
lebih dari satu vena. Apabila vena menjadi distensi akibat tekanan selama
mengedan, maka terbentuk hemoroid. Hemoroid dapat membuat proses defekasi
terasa nyeri. Apabila masa feses atau gas bergerak kedalam rectum untuk membuat
dindingnya berdisensi, maka proses defekasi dimulai. Proses ini melibatkan
control voluntary dan control involunter. Sfingter interna adalah sebuah otot
polos ynag di persarafi oleh system saraf otonom.
Saat sfingter interna relaksasi sfingter eksterna juga relaksasi. Orang dewasa dan anak – anak yang sudah menjalani toilet training (latihan defekasi) dapat mengontrol sfingter eksterna secara volunteer (sadar). Tekanan untuk mengeluarkan feses dapat dilakukan dengan meningkatkan tekanan intraabdomen atau melakukan valsava maneuver. Maneuver valsava ialah kontraksi volunter otot – otot abdomen saat indivudu mengeluarkan nafas secara paksa, sementara glottis menutup (menahan napas saat mengedan).
Saat sfingter interna relaksasi sfingter eksterna juga relaksasi. Orang dewasa dan anak – anak yang sudah menjalani toilet training (latihan defekasi) dapat mengontrol sfingter eksterna secara volunteer (sadar). Tekanan untuk mengeluarkan feses dapat dilakukan dengan meningkatkan tekanan intraabdomen atau melakukan valsava maneuver. Maneuver valsava ialah kontraksi volunter otot – otot abdomen saat indivudu mengeluarkan nafas secara paksa, sementara glottis menutup (menahan napas saat mengedan).
C. FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI ELIMINASI FEKAL
Faktor eliminasi fekal:
1.
Usia
Perubahan dalam tahapan perkembangan dalam
mempengaruhi status eliminasi terjadi disepanjang kehidupan. Seorang bayi
memiliki lambung yang kecil dan lebih sedikit menyekresi enzim pencernaan.
Beberapa makanan, seperti zat pati yang kompleks, ditoleransi dengan buruk.
Bayi tidak mampu mengontrol defekasi karana kurangnya perkembangan
neuromuskolar. Perkembangan ini biasanya tidak terjadi sampai 2 sampai 3 tahun.
Pertumbuhan usus besar terjadi sangat pesat selama masa remaja. Sekresi HCL
meningkat khususnya pada anak laki-laki. Anak remaja biasanya mengkonsumsi
makana dalam jumlah lebih besar. Sistem GI pada lansia sering mengalami
perubahan sehingga merusak proses pencernaan dan eliminasi. Beberapa lansia
mungkin tidak lagi memiliki gigi sehingga mereka tidak mampu mengunyah makanan
dengan baik. Makanan yang memasuki saluran GI hanya dikunyah sebagian dan tidak
dapat dicerna karena jumlah enzim pencernaan didalam saliva dan volume asam
lambung menurun seiring dengan proseas penuaan. Ketidakmampuan untuk mencerna
makanan yang mengandung lemak mencerminkan terjadinya kehilangan enzim
limpase.
2.
Diet
Asupan makanan setiap hari secara teratur membantu
mempertahankan pola peristaltic yang teratur di dalam kolon. Makanan yang
dikonsumsi individu mempengaruhi eliminasi. Serat, residu makanan yang tidak
dapat dicerna, memungkinkan terbentuknya masa dalam materi feses. Makanan
pembentuk masa mengabsorbsi cairan sehingga meningkatkan masa feses. Dinding
usus teregang, menciptakan gerakan peristaltic dan menimbulkan reflex defekasi.
Usus bayi yang belum matang biasanya tidak dapat mentoleransi makanan berserat
sampai usianya mencapai beberapa bulan. Dengan menstimulasi peristaltic, masa
makanan berjalan dengan cepat melalui usus, mempertahankan feses tetap lunak.
Makanan-makanan berikut mengandung serat dalam jumlah tinggi (masa).
a.
Buah-buahan mentah (apel, jeruk)
b.
Buah-buahan yang diolah (prum,
apricot)
c.
Sayur-sayuran (bayam, kangkung,
kubis)
d.
Sayur-sayuran mentah (seledri,
mentimun)
e.
Gandum utuh (sereal, roti)
Mengkonsumsi
makanan tinggi serat meningkatkan kemungkinan normalnya pola eliminasi jika
factor lain juga normal. Makanan yang menghasilkan gas, seperti bawang, kembang
kol, dan buncis juga menstimulasi peristaltic. Gas yang dihasilkan membuat
dinding usus berdistensi , meningkatkan motilitas kolon. Beberapa makanan pedas
dapat meningkatkan peristaltic , tetapi juga dapat menyebabkan pencernaan tidak
berlangsung dan feses menjadi encer.
Beberapa
jenis makanan, seperti susu dan produk-produk susu, sulit atau tidak mungkin
dicerna oleh beberapa individu. Hal ini disebabkan oleh intoleransi laktosa.
Laktosa, suatu bentuk karbohidrat sederhana yang ditemukan di dalam susu,
secara normal dipecah oleh enzim lactase. Intoleransi terhadap makana tertentu
dapat mengakibatkan diare, distensi gas, dank ram.
3.
Asupan Cairan
Asupan cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang
menyebabkan kehilangan cairan (seperti muntah) mempengaruhi karakter feses.
Cairan mengencerkan isi usus, memudahkannya bergerak melalui kolon. Asupan
cairan yang menurun memperlambat pergerakan makanan yang melalui usus. Orang
dewasa harus minum 6 sampai 8 gelas (1400 sampai 2000ml) cairan setiap hari.
Minuman ringan yang hangat dan jus buah memperlunak feses dan meningkatkan
peristaltic. Konsumsi susu dalam jumlah besar dapat memperlambat peristaltic
pada beberapa individu dan menyebabkan konstipasi.
4.
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik meninkatkan peristaltic, sementara
imobilisasi menekan motilitas kolon. Ambulasi dini setelah klien menderita
suatu penyakit dianjurkan untuk meningkatkan dipertahankannya eliminasi normal
Upaya mempertahankan tonus otot rangka, yang digunakan selama proses defekasi, merupakan hal yang penting. Melemahnya otot-otot dasar panggul dan abdomen merusak kemampuan individu untuk meningkatkan tekanan intraabdomen dan untuk mengontrol sfingter eksterna. Tonus otot dapat melemah atau hilang akibat penyakit yang berlangsung dalam jangka waktu lama atau penyakit neurologis yang merusak transmisi saraf.
Upaya mempertahankan tonus otot rangka, yang digunakan selama proses defekasi, merupakan hal yang penting. Melemahnya otot-otot dasar panggul dan abdomen merusak kemampuan individu untuk meningkatkan tekanan intraabdomen dan untuk mengontrol sfingter eksterna. Tonus otot dapat melemah atau hilang akibat penyakit yang berlangsung dalam jangka waktu lama atau penyakit neurologis yang merusak transmisi saraf.
5.
Faktor Psikologis
Fungsi dari hampir semua sistem tubuh dapat mengalami
gangguan akibat stress emosional yang lama. Apabila individu mengalami
kecemasan, ketakutan, atau marah, muncul respons stress, yang memungkinkan
tubuh membuat pertahanan. Untuk menyediakan nutrisi yang dibutuhkan dalam upaya
pertahanan tersebut, proses pencernaan dipercepat dan peristaltic meningkat.
Efek samping peristaltic yang meningkat antara lain diare dan distensi gas.
Apabila individu mengalami depresi, sistem saraf otonom memperlambat impuls saraf
dan peristaltic dapat menurun. Sejumlah penyakit pada saluran GI dapat
dikaitkan dengan stress. Penyakit ini meliputi colitis ulseratif, ulkus
lambung, dan penyakit crohn. Upaya penelitian berulang yang dilakukan sejak
lama telah gagal membuktikan mitos bahwa penyebab klien mengalami penyakit
tersebut adalah karena memiliki kondisi psikopatologis. Namu, ansietas dan
depresi mungkin merupakan akibat dari masalah kronik tersebut (cooke,1991)
6.
Kebiasaan pribadi
Kebiasaan eliminasi pribadi mempengaruhi fungsi usus.
Kebanyakan individu merasa lebih mudah melakukan defekasi dikamar mandi mereka
sendiri pada waktu yang paling efektif dan paling nyaman bagi mereka. Jadwal
kerja yang sibuk dapat mengganggu kebiasaan dan mengakibatkan perubahan seperti
konstipasi. Individu harus mencari waktu terbaik untuk melaksanakan
eliminasinya. Reflex gastrokolik adalah reflex yang paling mudah distimulasi
untuk menimbulkan defekasi setelah sarapan.
7.
Posisi Selama Defekasi
Posisi jongkok merupakan posisi yang normal saat
melakukan defekasi. Toilet modern dirancang untuk memfasilitasi posisi ini,
sehingga memungkinkan individu untuk duduk tegak ke arah depan, mengeluarkan
tekanan intraabdomen dan mengontraksi otot-otot pahanya. Namun, klien lansia
atau individu yang menderita penyakit sendi, seperti artritis, mungkin tidak
mampu bangkit dari tempat duduk tpilet memampukan klienuntuk bangun dari posisi
duduk di toilet tanpa bantuan. Klien yang mengguanakan alat tersebut dan
individu yang berposter pendek, mungkin membutuhkan pijakan kaki yang
memungkinkan ia menekluk pinggulnya dengan benar.
Untuk klien imobilisasi di tempat tidur, defekasi seringkali dirasakan sulit. Posisi telentang tidak memungkinkan klien mengontraksi otot-otot yang digunakan selama defekasi. Membantu klien ke posisi duduk yang lebih normal pada pispot. Akan meningkatkan kemampuan defekasi.
Untuk klien imobilisasi di tempat tidur, defekasi seringkali dirasakan sulit. Posisi telentang tidak memungkinkan klien mengontraksi otot-otot yang digunakan selama defekasi. Membantu klien ke posisi duduk yang lebih normal pada pispot. Akan meningkatkan kemampuan defekasi.
8.
Nyeri
Dalam kondisi normal, kegiatan defekasi tidak
menimbulkan nyeri. Namun, pada sejumlah kondisi, termasukhemoroid, bedah
rectum, fistula rectum, bedah abdomen, dan melahirkan anak dapat menimbulkan
rasa tidak nyaman ketika defekasi. Pada kondisi-kondisi seperti ini, klien
seringkali mensupresi keinginanya untuk berdefekasi guna menghindari rasa nyeri
yang mungkin akan timbul. Konstipasi merupakan masalah umum pada klien yang merasa
nyeri selama defekasi.
9.
Kehamilan
Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan dan ukuran
fetus, tekanan diberikan pada rectum. Obsetruksi semenmtara akibat keberadaan
fectus mengganggu pengeluaran feses. Konstipasi adalah masalah umum yang muncul
pada trimester terakhir. Wanita hamilselama defekasi dapat menyebabkan terbentukannya
hemoroid yang permanen.
10. Pembedahan
dan Anestesia
Agen anestesi yang digunakan selama proses pembedahan,
membuat gerakan peristaltic berhenti untuk sementara waktu. Agens anestesi yang
dihirup menghambat impuls saraf parasimpatis ke otot usus. Kerja anestesi
tersebut memperlambat atau menghentikan gelombang peristaltic. Klien yang
menerima anestesi local atau regional beresiko lebih kecil untuk mengalami
perubahan eliminasi karena aktivitas usus hanya dipengaruhi sedikitt atau
bahkan tidak dipengaruhi sama sekali.
Pembedahan yang melibatkan manipulasi usus secara
langsung, sementara akan menghentikan gerakan peristaltic. Kondisi ini disebut
ileus paralitik yang biasanya berlangsung sekitar 24 sampai 48 jam. Apabila
klien tetap tidak aktif atau tidak dapat makan setelah pembedahan, kembalinya
fungsi normal usus dapat terhambat lebih lanjut.
11. Obat-obatan
Obat-obatan untuk meningkatkan defekasi telah tersedia
. laksatif dan katartik melunakkan feses dan meningkatkan peristaltic.
Obat-obatan seperti disiklomin HCL (Bentyl) menekan gerakan peristaltic dan
mengobati diare. Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat mengganggu
eliminasi. Obat analgesic narkotik menekan gerakan peristaltic. Opiat umumnya
menyebabkan konstipasi.
Obat-obatan antikolinergik, seperti atropin, atau
glikopirolat (robinul), menghambat sekresi asam lambung dan menekan motilitas
saluran GI. Walupun bermanfaat dalam mengobati gangguan usus, yakni
hiperaktivitas usus, agens antikolinegik dapat menyebabkan konstipasi, banyak
antibiotik menyebabkan diare dengan menggangu flora bakteri normal didalam
saluran GI. Apabila diare dan kram abdomen yang terkait dengan diare semakin
parah, obat-obatan yang diberikan kepada klien mungkin perlu diubah. Intervensi
keperawatan dapat digunakan untuk diare osmotic, yang disebabkan oleh
obat-obatan hiperosmolar telah diuraikan oleh Fruto(1994)
12. Pemeriksaan
Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik, yang melibatkan visualisasi
struktur saluran GI, sering memerlukan dikosongkannya isi dibagian usus. Klien
tidak diizinkan untuk makan atau minum setelah tengah malam jika esoknya akan
dilakukan pemeriksaan, seperti pemeriksaan yang menggunakan barium enema,
endoskopi saluran GI bagian bawah atau serangkaian pemereksaan saluran GI
bagian atas. Pada kasus penggunaan barium enema atau endoskopi, klien biasanya
meneri,ma katartik dan enema. Pengosongan usus dapat mengganggu eliminasi
sampai klien dapat makan dengan normal.
Prosedur pemeriksaan menggunakan barium menimbulkan
masalah tambahan. Barium mengeras jika dibiarkan di dalam saluran GI. Hal ini
dapat menyebabkan konstipasi atau impaksi usus. Seorang klien harus menerima
katartik untuk meningkatkan eliminasi barium setelah prosedur dilakukan. Klien
yang mengalami kegagalan dalam mengevakuasi semua barium, mungkin usus klien
perlu dibersihkan dengan menggunakan enema.
D.
MASALAH DEFEKASI YANG UMUM
Perawat mungkin merawat klien yang mengalami atau
beresiko mengalami masalah eliminasi akibat stress emosional (ansietas atau depresi),
perubahan fisiologis pada saluran GI, perubahan truktur usus melalui
pembedahan, program terapi lain, atau gangguan yang mengganggu defekasi.
1.
Konstipasi
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit yaitu
menurunnya frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras,
dan mengejan. BAB yang keras dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini
terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak air
diserap. Penyebabnya :
a.
Kebiasaan BAB tidak teratur, seperti
sibuk, bermain, pindah tempat, dan lain-lain
b.
Diet tidak sempurna/adekuat : kurang
serat (daging, telur), tidak ada gigi, makanan lemak dan cairan kurang
c.
Meningkatnya stress psikologik
d.
Kurang olahraga / aktifitas :
berbaring lama.
e.
Obat-obatan: kodein, morfin, anti
kolinergik, zat besi. Penggunaan obat pencahar/laksatif menyebabkan tonus otot
intestinal kurang sehingga refleks BAB hilang,
f.
Usia, peristaltik menurun dan
otot-otot elastisitas perut menurun sehingga menimbulkan konstipasi.
g.
Penyakit-penyakit : Obstruksi usus,
paralitik ileus, kecelakaan pada spinal cord dan tumor.
2.
Impaction
Impaction merupakan akibat konstipasi yang tidak
teratur, sehingga tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan.
Impaction berat, tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid. Penyebabnya pasien
dalam keadaan lemah, bingung, tidak sadar, konstipasi berulang dan pemeriksaan
yang dapat menimbulkan konstipasi. Tandanya : tidak BAB, anoreksia,
kembung/kram dan nyeri rektum.
3.
Diare
Diare merupakan BAB sering dengan cairan dan feses
yang tidak berbentuk. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat
cepat. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan
meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer sehingga pasien
tidak dapat mengontrol dan menahan BAB.
4.
Inkontinensia fecal
Yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol BAB dan
udara dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan
gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan
tumor spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu secara mental pasien sadar
akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan dasar pasien
tergantung pada perawat.
5.
Flatulens
Yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding
usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas keluar
melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus). Hal-hal yang menyebabkan
peningkatan gas di usus adalah pemecahan makanan oleh bakteri yang menghasilkan
gas metan, pembusukan di usus yang menghasilkan CO2. Makanan penghasil gas seperti
bawang dan kembang kol.
6.
Hemoroid
Yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum
(bisa internal atau eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang keras,
kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati menahun. Perdarahan dapat terjadi
dengan mudah jika dinding pembuluh darah teregang. Jika terjadi infla-masi dan
pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal. Kadang-kadang BAB dilupakan
oleh pasien, karena saat BAB menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami
konstipasi.
E. DIVERSI USUS
Penyakit tertentu menyebebkan kondisi-kondisi yang
mencegah pengeluaran feses secara normal dari rectum. Hal ini menimbulkan
kebutuhan untuk membentuk suatu lubang (stoma) buatan yang permanen atau
sementara. Lubang uyang dibuat melalui upaya bedah(ostomi ) paling sering di
bentuk di Ileum (ileostomi) atau di kolom (kolostomi)(Mc. Garity,1992). Ujung
usus kemudian ditarik kesebuah lubang di dinding abdomen untuk membentuk stoma.
Ada dua jenis ostomi yaitu:
Ada dua jenis ostomi yaitu:
1.
Ostomi Kontinen : klien memiliki
control terhadap pengeluaran feses.
Dimana dalam ostomi kontingen tipe pembedahan tertentu
memungkinkan kontinensia pada klien tertentu yang mengalami kolektomi
(pengangkatan kolon). Ostomi Kontinen ini juga disebut Disversi kontinen atau
reservoir kontinen. Pada sebuah prosedur yang disebut dengan ileoanal
pull-through, kolon diangkat dan ileum dianastomosis atau disambungkan ke
sfingter anus yang utuh.
Di beberapa prosedur bedah terbaru yang didasarkan
pada upaya ileoanal pull-through adalah reservoar ileoanal .Reservoar ileoanal
juga disebut protokolektomi restorasi, anastomosis kantong ileum anus, atau
kantong pelvis. Pada prosedur ini klien tak memiliki stoma eksterna yang
permanen dan dengan demikian tidak perlu mengenakan kantong ostomi.klien
mengenakan kantung interna yang berasal dari ileumnya.
Kantong ileum ini dapat di bentuk dalam berbagai
bentuk seperti bentuk lateral, S,J,atau W. Ujung kantong kemudian dijahit atau
di anastomosis ke anus.pembedahan dilakukan dalam berbagai tahapandan klien
dapat mempunyai ostomi yang bersifat sementara sampai kantung ileum yang
dibentuk melalui upaya bedah telah sembuh.
2.
Ostomi Inkintingen: klien tidak
mempunyai control terhadap pengeluaran Feses.
Pada hal ini lokasi ostomi menentukan kosistensi
feses. Sebuah ileostomi merupakan jalan pintas keluarnya feses sehingga feses
tidak melalui seluruh bagian usus besar. Akibatnya feses akan keluar lebih
sering dan dalam bentuk cair. Kejadian serupa juga terjadi pada kolostomi di
kolon asenden. Kolostomi pada kolon transversal umumnya akan menghasilkan feses
yang lebih padat dan berbentuk, sedangkan kolostomi sigmoid menghasilkan feses
yang sudah mendekati feses normal. Dalam hal ini kolostm dibagi menjadi 3
yaitu:
a.
Loop Colostomy
Loop
colostomy biasanya di lakukan dalam kondisi kedaruratan medis yang nantinya
colostomy tersebut akan ditutup. Jenis colostomy ini biasanya mempunyai stoma
yang berukuran besar, dibentuk di kolon transversal dan sifatnya sementara.
b.
End Colostomy
End Coostomy
terdiri dari satu stoma, yang dibentuk dari ujung proksimal usus dengan bagian
distal saluran GI dapat dibuang atau dijahit tertutup (disebut kantong
Hartmann) dan dibiarkan di dalam rongga abdomen.
c.
Double Barrel colostomy
Tidak
seperti loop colostomy , usus dipotong melalui pembedahan kedalam bentuk double
barrel colostomy dan kedua ujungnya ditarik keatas abdomen . Double-barrel
colostomy terdiri dari dua stoma yang berbeda yaitu stoma proksimal yang
berfungsi dan stoma distal yang tak berfungsi.
Pertimbangan
Psikologi
Sebuah ostomi dapat menimbulkan perubahan
citra tubuh yang serius, terutama apabila ostomi tersebut bersifst permanen.
Klien yang memiliki riwayat penyakit usus kronik dalam jangka waktu yang lama
seperti penyakit Crohn atau Kolitis ulseratif telah meningkatkan kualitas
hidupnya, tetapi memiliki citra tubuh yang lebih rendah. Sebaliknya, Klien yang
membutuhkan ostomi akibat kanker memiliki citra tubuh yang lebih tinggi, tetapi
kualitas hidupnya berkurang.
Klien sering mempersepsikan stoma sebagai bentuk pemotongan/perusakan.
Klien sering mempersepsikan stoma sebagai bentuk pemotongan/perusakan.
Walaupun pakaian menutupi ostomi,
klien merasa berbeda. Banyak klien memiliki kesulitan untuk
mempertahankan/memulai hubungan seksual yang normal. Faktor penting yang
mempengaruhi reaksi klien adalah karakter sekresi feses dan kemampuan untuk
mengontrolnya. Bau busuk kebocoran atau tumpahan feses tang encer dan
ketidakmempuan mengatur defekasi membuat klien kehilangan harga dirinya.
F. PROSES KEPERAWATAN ELIMINASI FEKAL
1.
Pengkajian
a.
Frekwensi buang air besar pada bayi
sebanyak 4 – 6 kali sehari, sedangkan orang dewasa adalah 2 – 3 kali per hari
dengan jumlah rata-rata pembuangan per hari adalah 150 gram.
b.
Keadaan feses :
1)
warna hitam atau merah
2)
berbau tidak sedap
3)
konsistensi cair
4)
bentuk kecil seperti pensil
5)
terdapat darah
2.
Diagnosa
a.
Konstipasi berhubungan dengan:
1)
defek persarafan, kelemahan pelvis,
imobilitas akibat cedera akibat medulla spinalis, dan CVA
2)
nyeri akibat hemoroid
3)
menurunya peristaltic akibat stress
b.
Diare berhubungan dengan:
1)
melabsorpsi atau inflamasi akibat
penyakit infeksi atau gastritis, kulkus,
2)
peningkatan peristaltic akibat
peningkatan metabolism
3)
stress psikololgis
c.
Inkontinensia usus berhubungan
dengan:
1)
gangguan sfingter rectal akibat
cedera rectum atau tindakan pembedahan
2)
distensi rectum akiibat konstipasi
kronis
3)
ketidak mampuan mengenal atau
merespon proses defekasi akibat depresi atau kerusakan kognitif
d.
Kurangnya volume cairan berhubungan
dengan:
1)
pengluaran cairan yang berlebihan
(diare)
3.
Perencanaan
Tujuan :
a.
Mempertahankan asupan makanan dan
minuman cukup
b.
Mempertahankan kebiasaan defikasi
secara teratur
c.
Mempertahankan defikasi secara
normal
d.
Mencegah gangguan integritas
kulit
Rencana tindakan :
a.
Kaji perubahan faktor yang
mempengaruhi masalah eliminasi
b.
Kurangi faktor yang mempengaruhi
terjadinya masalah seperti konstipasi akibat nyeri dan inkontenensia usus
c.
Jeleskan mengenai eliminasi yang
normal kepada pasien
d.
Bantu defikasi secara manual
e.
Bantu latihan buang air besar
f.
Pertahankan asupan makanan dan
minuman
4.
Pelaksanaan
a.
Menyiapkan feses untuk bahan
pemeriksaan
b.
Menolong buang air besar dengan
menggunakan pispot
c.
Memberikan gliserin untuk merangsang
peristaltic usus sehingga pasien dapat buang air besar
d.
Mengeluarkan feses dengan jari
e.
Kolaborasi dengan ahli gizi
5.
Evaluasi
Evaluasi
terhadap kebutuhan eliminasi dapat dinilai dengan adanya kemampuan dalam :
a.
Memahami cara eliminasi yang normal
b.
Mempertahankan defektasi secara
normal yang ditunjukan dengan kemampuan pasien dalam mengontrol defektasi tanpa
bantuan obat atau enema , berpartisipasi dalam program latihan secara teratur ,
defikasi tanpa mengedan
c.
Mempertahankan rasa nyaman yang
ditunjukan dengan kenyamanan dalam kemampuan defikasi , tidak terjadi bleeding
, tidak terjadi inflamasi dan lain-lain
d.
Mempertahankan integritas kulit yang
ditunjukan dengan keringnya area perianal , tidak ada inflamasi atau ekskoriasi
, keringnya kulit sekitar stoma dan lain-lain
e.
Melakukan latihan secara teratur ,
seperti rentang gerak atau aktifitas lain (jalan , berdiri , dll)
f.
Mempertahankan asupan makanan dan
minuman yang cukup dapat ditunjukan dengan adanya kemampuan dalam merencanakan
pola makan , seperti makan dengan tinggi atau rendah serat (tergantung dari
tendensi diare / konstipasi serta mampu minum 2000 – 3000 ml)
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Eliminasi fekal adalah proses
pembuangan sisa metabolisme tubuh berupa bowel (feses). Faktor yang
mempengaruhi eleminasi fecal yaitu, usia, diet, asupan Cairan, aktivitas Fisik,
faktor Psikologis, kebiasaan pribadi, Posisi Selama Defekasi, Nyeri, Kehamilan,
Pembedahan dan Anestesia, Obat-obatan, Pemeriksaan Diagnostik. Dengan kita
mengetahui faktor-faktor tersebut akan mempermudah saat kita melakukan
asuhan keperawatan.
B.
SARAN
Semoga makalah ini dapat menjadi bahan pembelajaran
agar kita dapat mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan eliminasi
fekal.
DAFTAR PUSTAKA
Alimul Aziz.
2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan
Proses Keperawatan
Perry,
Potter. 2005. Fundamental keperawatan, edisi 4, volume 1. Jakarta : EGC
Perry,
Potter. 2005. Fundamental keperawatan, edisi 4, volume 2. Jakarta : EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar